Download this Blogger Template by Clicking Here!

Ad 468 X 60

.

Selasa, 18 Juni 2013

"1001 Inventions and The Library of Secrets", Bukti Kegemilangan Islam

          Pada bulan Mei 2011, Film ini adalah mendapatkan penghargaan sebagai Best Temporary/Touring Exhibition 2011 at the annual Museums and Heritage Awards di  London, Inggris. Film berdurasi kurang lebih 13 menit ini menceritakan beberapa pelajar yang sedang mencari tentang referensi


Read More »

Senin, 17 Juni 2013

Pedang Berteknologi Masa Depan!



Dr Fahmi Amhar

Syariat jihad pada zaman khilafah Islam telah mendorong tidak cuma semangat yang berkobar untuk berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa, tetapi juga menarik sains dan teknologi ke level yang jauh lebih maju.  Salah satu yang mengesankan – dan hingga kini masih misteri – adalah adanya teknik logam (metalurgi) yang amat tinggi, dibuktikan dengan pernah dibuatnya Pedang Damaskus pada kisaran tahun 1100 sampai dengan tahun 1750.  Pedang ini terkenal dengan ketajamannya dan memiliki bahan yang kuat dan lentur.
Pedang Damaskus itu sendiri dikenal sebagai pedang yang digunakan oleh Salahuddin al Ayyubi, seorang sultan Mesir-Syria sekaligus panglima perang yang dapat merebut kembali Jerussalem dari tangan bangsa Nasrani melalui perang Hattin. Salahuddin terkenal di dunia Islam maupun Kristen karena kepemimpinan, kecakapan militer, dan sifat ksatria dan pengampunnya pada saat melawan tentara Salib. Dan dia adalah juga seorang ulama.
Tahun 1192. Richard Berhati Singa (Lion Heart), raja Inggris dalam Perang Salib III, bertemu Salahuddin. Sir Walter Scott mendramatisasi kisahnya dalam novel “The Talisman”, bagaimana keduanya memamerkan senjata masing-masing.
Richard mengeluarkan  pedang lebar mengilap buatan pandai besi terbaik Inggris. Salahuddin  menghunus pedang lengkung buatan pandai besi Damaskus yang  tidak mengilap. Richard memapas sebuah kotak dari besi hingga putus dan Salahuddin Al Ayubi melepaskan kain sutra halus hingga terbang dan sutra tersebut putus ketika tersentuh tajamnya pedang.
Teknik pembuatan pedang Damaskus ini begitu rahasia sehingga hanya beberapa keluarga pandai besi di Damaskus saja yang menguasainya. Ini juga yang menyebabkan teknik pembuatan baja Damaskus akhirnya punah. Hingga kini teknologi metalurgi yg paling canggih pun belum mampu membuat pedang yang lebih tajam dari pedang Damaskus.
Sebuah penelitian mikroskopik pada pedang-pedang Damaskus di museum, menemukan bahwa pedang-pedang ini ternyata memiliki semacam lapisan kaca di permukaannya. Bisa dikatakan para ilmuwan Muslim di Timur Tengah telah menguasai teknologi nano sejak seribu tahun yang lalu.
John Verhouven di Universitas Iowa telah menemukan bahwa hanya tipe tertentu dari wadah khusus untuk melebur baja ditambah elemen lain seperti vanadium akan menghasilkan pola nano yang tepat. Pada 2006, para peneliti di Universitas Teknologi Dresden, Jerman, mempelajari pedang prajurit Islam dengan mikroskop elektron dan menemukan bahwa kekuatan pedang mereka mungkin berasal dari nanotube karbon dan kawat nano yang dibuat dari mineral yang disebut sementit. Struktur serupa akan menghasilkan bahan komposit modern yang kuat. Namun, resep tepat untuk membuat pedang prajurit Islam itu masih menjadi misteri.

Dengan teknologi terkini, diketahui bahwa efek pola air yang dimiliki oleh pedang Damaskus diperoleh dengan menempa baja yang mengandung proporsi jumlah karbon yang besar. Daerah gelap pada permukaan pedang akibat pola yang dibuat residu karbon, sedangkan pola terang dibentuk oleh partikel ikatan karbit besi. Kandungan karbon yang tinggi memungkinkan diperolehnya pedang dengan ketahanan tinggi, namun kehadiran karbon di campuran bahan mentah sangat sulit atau hampir tidak mungkin dikontrol. Terlalu sedikit karbon menyebabkan pedang menjadi lemah, namun terlalu banyak karbon menyebabkannya menjadi getas. Bila proses pembuatan pedang tidak berlangsung dengan baik, baja akan membentuk besi sementit, fase besi yang sangat rentan. Namun, para ahli metalurgi Islam mampu mengontrol kerentanan inheren dan menempa bahan mentah tersebut menjadi senjata. Suatu artikel jurnal di Nature menceritakan mengapa baja karbon dapat dibuat dan mengapa saat ini menghilang. Ide tersebut didasari oleh ilmu pengetahuan material modern: Nanoteknologi, hal yang sulit terpikirkan hingga abad ke-17.
Pembuatan baja telah dipelajari dengan seksama dan didokumentasikan serta diturunkan bagi para ahli pedang di dunia Islam, yang menjaga dengan baik rahasia ini. Baja Damaskus sangat berharga karena menggabungkan antara kekuatan, elastisitas dan ketahanannya. Saat ini, walaupun teknologi metalurgi telah berkembang pesat, namun para peneliti masih saja kesulitan untuk meniru dan membuat baja yang mirip dengan baja Damaskus.
Mungkin untuk mendapatkan kembali teknologi yang hilang itu, kita harus merekonstruksi dahulu negara yang memungkinkannya, yaitu Khilafah Islamiyah, sehingga para ilmuwan akan kembali inovatif, mengembangkan teknologi untuk tujuan yang mulia dan barokah, jihad fisabilillah, untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam.

Read More »

Mesir Negeri Para Ilmuwan

Mesir Negeri Para Ilmuwan PDF Print E-mail
Oleh:Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Setelah Tunisia, Mesir pun mengalami revolusi.  Husni Mubarak yang kini bagi rakyat Mesir diplesetkan menjadi “Laa Husni wa Laa Mubarak” (yang tidak bagus dan tidak barokah) akhirnya mundur, setelah didemo besar-besaran selama 18 hari, disindir terus majikannya, yakni Obama, Presiden AS dan akhirnya ditinggalkan tentaranya.Tetapi belum pasti, apakah pergantian rezim ini berarti juga pergantian dari sistem sekuler menjadi sistem Islam.  Sistem sekuler terbukti hanya menjadikan Mesir terpuruk dan terhina.  Dari sisi sains dan teknologi, SDM bergelar “Master of Science” per sejuta penduduk di Mesir hanya ada 370 orang, sementara di Israel ada 13.000 orang!  Meski ini data dari UNDP tahun 2003, tapi sepertinya secara perbandingan belum ada perubahan signifikan.

Padahal dulu berabad-abad Mesir adalah negeri para ilmuwan, baik ilmuwan di bidang fiqih maupun di bidang sains dan teknologi.  Kehebatan Mesir hanya tertandingi oleh Cordoba dan Baghdad.  Rahasianya ada pada Islam.
Memang, berabad-abad sebelum Islam hadir di Mesir, negeri ini pernah memiliki banyak matematikawan, astronom dan insinyur yang hebat.  Para insinyur itu digunakan Fir'aun untuk membangun piramid raksasa dengan presisi yang tinggi.  Sebelum datangnya Romawi, Alexandria pernah memiliki perpustakaan terlengkap di dunia.  Namun Romawi lalu memusnahkan perpustakaan itu.  Selama enam setengah abad sesudahnya, Mesir tenggelam dalam kegelapan peradaban.  Sampai akhirnya cahaya Islam datang.

Ketika pasukan Amr bin Ash membebaskan Mesir dari tangan Romawi, pampasan perang yang diminta bukanlah emas, perak atau harta benda sejenisnya.  Tetapi semua buku kuno yang telah ditelantarkan berabad-abad.  Buku-buku itu lalu diterjemahkan, dipelajari dan dikembangkan.  Tanpa upaya ini, mungkin kita hanya mengenal Ptolomeus sebagai seorang jenderal yang menjabat gubernur, bukan sebagai astronom yang menulis buku astronomi Almagest, yang dipelajari di seantero dunia Islam sebagai tafsir ayat “Dan langit bagaimana ditinggikan” (QS al-Ghasiyah:18).

Di Mesirlah sejak tahun 969 M berdiri universitas kelas dunia, Universitas al-Azhar.  Dalam sejarahnya yang sangat panjang, dari universitas ini muncul tidak cuma orang-orang yang mumpuni dalam ilmu, tetapi juga rajin mengingatkan para penguasa yang lalai ataupun berdiri di garis depan dalam jihad fi sabilillah melawan tentara salib ataupun penjajah Barat lainnya.  Reputasi pabrik ilmuwan kelas dunia seperti itulah yang memanggil para aghniya untuk wakaf dengan aset-aset produktif – seperti kebun, pabrik atau pasar – agar Al-Azhar dapat terus memberi beasiswa calon-calon ulama pejuang dari seluruh dunia. 

Dalam sejarahnya yang panjang itu Mesir bertabur bintang-bintang sains.  Inilah beberapa di antaranya:

Di bidang ilmu Kimia:
Pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia Muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab.  Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.

Pada 1250 M, para insinyur di Mesir berhasil membuat senapan tangan (midfa), yang merupakan prototype pistol atau senjata api yang portable.  Senjata ini digunakan oleh pasukan Mesir untuk mengalahkan tentara Mongol dalam pertempuran di Ain Jalut.  Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol ini memiliki bubuk mesiu yang terdiri dari 74 persen amonia, 11 persen belerang dan 15 persen karbon) – sebuah komposisi yang ideal seperti di zaman modern.  Pasukan Mesir juga dikabarkan sudah menggunakan pakaian yang tahan api agar tidak terluka oleh cartridge mesiu yang mereka bawa.

Di bidang matematika dan fisika:
Pada 850-890 M hiduplah Abu Kamil Syuja ibn Aslam ibn Muhammad ibn Syuja, yang merupakan simpul penting dalam pengembangan matematika, penghubung antara al-Khwarizmi (penemu aljabar) dengan al-Karaji (penemu geometri analitis).  Abu Kamil lah orang pertama yang menuliskan notasi dengan tanda pangkat seperti Xn . Xm = Xm+n

Dalam dunia fisika, penemuan optika oleh Ibn al-Haitsam (1021 M) juga dapat dikatakan terjadi di Mesir, ketika al-Haitsam ini mengalami tahanan rumah, setelah insinyur yang berasal dari Iraq itu gagal menyelesaikan proyek bendungan sungai Nil, lalu pura-pura gila.

Pada 1312-1361 M, Tajuddin Ali ibn ad-Duraihim ibn Muhammad at-Tha'alibi al-Mausili menulis banyak hal tentang ilmu persandian (kriptologi).  Karyanya diungkap dalam salah satu bab dari ensiklopedi 14 jilid karya Syihabuddin Abu'l Abbas Ahmad ibn Ali bin Ahmad Abdullah al-Qalqasyandi (1356-1418 M). Di situ dijelaskan teknik substitusi dan transposisi, dari yang sederhana hingga yang rumit, sehingga mampu membuat suatu plain-text menjadi text yang tidak dapat dibaca kecuali dengan analisis kripto tingkat tinggi.

Sekitar tahun 1000-1009 M, Ibnu Yunus mempublikasikan hasil risetnya di bidang fisika dan astronomi Al-Zij al Hakimi al Kabir.  Ini adalah deskripsi paling awal tentang gerak bandul (pendulum).  Dia juga membangun tugu astrolab yang pertama.

Di bidang teknologi rekayasa:
Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.

Pada 953 M Ma'ad al Mu'izz, seseorang qadi di Mesir, menemukan fulpen yang tidak akan mengotori tangan atau bajunya, yang tintanya tersimpan dalam suatu reservoir dan turun oleh gaya gravitasi dan kapiler.  Ini adalah penemuan fulpen yang tercatat pertama kali, seperti direkam oleh an-Nu'man al-Tamimi (wafat 974 M) dalam bukunya Kitab al-Majalis wa'l Musayardh.

Pada tahun 1000-an M, banyak penemuan teknik di Mesir seperti ventilator untuk pertambangan, penggilingan gandum bertenaga air sungai yang berbentuk jembatan (bridge mill) dan industri logam bertenaga air.

Pada 1551 M, insinyur Taqiyuddin yang disponsori pemerintah Utsmaniyah di Mesir menciptakan mesin uap, jauh lebih dulu dari James Watt (1736-1819) di Inggris.

Di bidang kedokteran:

Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo.

Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia.  Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.

Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur.  Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apotik, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional).  Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan.  Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.Semoga revolusi Mesir saat ini, mendorong rakyat Mesir untuk mendesak agar pemerintah yang baru menerapkan syariat Islam, agar Mesir meraih kembali kemuliannya dalam sejarah peradaban selama berabad-abad.[]

Read More »

Satu Negeri Ikut Ujian

Dr. Fahmi Amhar
 
Bagaimana suasana Ujian Nasional (UN) tahun ini di daerah Anda?  Semoga baik-baik saja.  Tetapi diketahui luas bahwa tahun ini, pelaksanaan UN secara nasional sangat buruk.  Soal ujian datang terlambat, tertukar, lembar jawaban terlalu tipis dan sobek bila dihapus, dan di atas itu semua kecurangan masih terjadi, sebagian bahkan sistemik, yakni justru didalangi oleh pejabat setempat.  Oleh panitia pusat sudah diatur bahwa setiap ruang mendapat 20 soal yang berbeda, sehingga semakin sulit untuk mencontek, dan semakin lama bila guru pengawas ikut membuatkan jawaban buat peserta.  Namun realita, kunci jawaban untuk ke-20 soal itu tertayang di internet.  Entah apa motivasi yang mengunggahnya, mungkin dia kesal dengan UN secara keseluruhan.
Ketika tahun 1984 dulu EBTANAS SMA dimulai, idenya memang sekadar untuk pemetaan standar pendidikan.  Nilai EBTANAS Murni (NEM) tidak untuk standar kelulusan, tetapi hanya berpengaruh 33 persen hingga maksimum 60 persen.  Saat itu sangat jarang siswa yang mendapat NEM rata-rata di atas 7.  Ketika EBTANAS berganti nama menjadi UN, dan hasilnya dijadikan standar kelulusan, maka dimulailah kecurangan sistemik itu.  Para kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan takut kehilangan jabatannya bila nilai UN siswa di bawah tanggung jawabnya jelek.  Mereka lalu melakukan segala cara.
Sekarang ini, kalau anak kita mendapat angka 8 sebagai nilai rata-rata UN, boleh jadi dia akan sulit mendapatkan sekolah lanjutan, karena yang angkanya 9 banyak sekali.  Tetapi tetaplah bersyukur bila itu didapat dengan jujur.  Prof Dr Indra Djati Sidi (mantan Dirjen Dikdasmen) mengatakan, hasil UN yang jujur hanya 20 persen.
Tak heran bahwa banyak dugaan UN ini bukanlah usaha serius memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air, tetapi lebih pada proyek bernilai trilyunan rupiah yang sayang jika dihapuskan.  Salah satu buktinya, sekolah dengan hasil UN bagus justru dikembangkan menjadi RSBI dan mendapat dukungan finansial lebih besar.  Sementara sekolah di daerah terpencil dengan guru terbatas dan murid yang setiap hari harus berjibaku mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke sekolah, hanya mendapat perhatian ala kadarnya.
Sebenarnyalah memang naif untuk menilai proses belajar hanya dari beberapa hari UN dan juga dengan soal yang amat terbatas.  Terlalu banyak hal yang tidak bisa dinilai dengan cara seperti itu.
Bagaimana kita akan menilai keberhasilan siswa dalam menaklukkan rasa takutnya?  Kedalaman imannya?  Kepekaan nuraninya?  Kepedulian sosialnya?  Kreativitas karyanya?  Daripada nilai UN, masih banyak parameter yang lebih menentukan masa depan seorang anak.
Sangat disayangkan bahwa kita jarang menengok bagaimana dulu Negara Khilafah mampu mengangkat peradabannya menjadi mercusuar dunia melalui jalur pendidikan (dakwah). Pendidikan itu kunci kebangkitan peradaban, juga kunci untuk mempertahankan tingkat kemajuan yang telah diraih.  Rahasia mundurnya peradaban Islam juga terletak ketika pendidikan makin diabaikan, sehingga generasi muda makin jauh dari Islam, dan akhirnya ketika mereka menduduki pos-pos penting, penerapan Islam menjadi semakin buruk.

Paradigma pendidikan Islam adalah menanamkan pada anak kecintaannya kepada ilmu agar dia menjadi Muslim yang lebih baik.  Iman dan ilmu adalah saudara kembar.  Iman tanpa ilmu itu laksana benih yang tidak tumbuh menjadi pohon.  Ilmu tanpa amal itu laksana pohon yang tidak berbuah.  Sedang amal tanpa ihlas itu laksana buah yang tidak enak dimakan.
Karena itu setiap Muslim wajib mampu membaca Alquran.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.
Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas.  Pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, yang terjangkau semua orang.  Mereka harus menguasai semua hal yang fardhu diketahuinya sebelum memasuki usia baligh.
Negara membayar cukup para gurunya. Para guru ini juga orang-orang pilihan yang berdedikasi tinggi, orang-orang yang ingin meninggalkan ilmu yang manfaat dan mencetak anak-anak shalih sebagai investasi amal yang tak akan terputus oleh kematian.
Di banyak tempat, sekolah sama sekali gratis.  Di Spanyol misalnya, selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.  Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas.  Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.  Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.
Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar.  Yang “salah” adalah politik.
Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat.  Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah.  Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya.  Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan.  Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!
Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus.  Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku.  Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi.  Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan.  Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi. Pada pelajaran yang terkait ketrampilan teknologi, disediakan laboratorium yang cukup untuk menguji kemampuan siswa memecahkan masalah. Ini kemampuan psikomotorik, bukan sekadar kognitif (hafalan).  Para aghniya juga berlomba-lomba (fastabiqul khairat) untuk berwakaf membantu fasilitas pendidikan dengan perpustakaan atau observatorium bintang.  Mereka ingin meninggalkan amal jariyah, yang pahalanya juga tidak akan terputus oleh kematian.
Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.  Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar.  Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.
Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya.  Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah.  Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru.  Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.
Sebagian ayah memanggil guru ke rumah, biasanya untuk anak berbakat, seperti misalnya Ibnu Sina yang di usia 10 sudah hafal Alquran dan kitab-kitab kuno.  Ini tentu tidak mungkin tertampung di sekolah umum.  Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmetika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof.  Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya.  Baru saja dfgurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah.  Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu.  Itupun tidak lama.  Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran.  Dia diminta membaca buku yang tersulit.  Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat.  Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16!  Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana.  Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit.  Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.
Tentu yang seperti Ibnu Sina ini memang luar biasa.  Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid.  Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan.  Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah.  Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama.  Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar.  Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.
Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji.  Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan.  Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism).  Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan.  Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut.  Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.
Sedang untuk profesi tertentu, misalnya tabib, ada suatu komisi yang ditunjuk Khalifah untuk menguji kompetensi orang-orang yang mengklaim memiliki kemampuan pengobatan.  Mereka akan ditanya, pada siapa mereka belajar, kitab apa yang telah mereka baca dan bagaimana mereka menghadapi suatu kasus.  Kadang, meski orang mengklaim mampu mengobati segala penyakit, oleh komisi dia hanya diberi lisensi untuk mengobati sakit kulit, karena terbukti kompetensinya cuma itu.  Ini sudah lebih maju 1000 tahun daripada dunia pengobatan alternatif di Indonesia saat ini yang tak jelas standarnya !
Pada masa itu siapapun boleh kapan saja mengujikan kompetensinya.  Anak-anak rajin seperti Ibnu Sina atau Muhammad bin Idris asy-Syafi’i bisa menjadi ilmuwan sekaligus ulama top di usia amat muda karena pendidikan Islam berhasil menanamkan pada mereka cinta ilmu, sehingga mereka belajar tiga kali lipat orang normal, dan sistem juga memberi mereka kesempatan mengujikan kompetensinya, tanpa harus menunggu UN.
Read More »

APBN Lebih Terbebani Utang, Bukan Subsidi BBM

Anggaran negara selama ini dinilai lebih banyak terbebani oleh kewajiban pembayaran utang yang rata-rata menghabiskan 25 persen APBN per tahun, bukan oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM), seperti yang kerap dikeluhkan pemerintah. Selain itu, anggaran juga dianggap boros untuk belanja rutin pegawai ketimbang untuk pembangunan dan fasilitas kesejahteraan rakyat.

Meski demikian, pemerintah dianggap tidak memiliki upaya yang cerdas untuk mengurangi kebergantungan pada utang atau mengurangi defi sit. Hal itu terlihat dari rendahnya upaya pemerintah menggenjot sumber penerimaan dalam negeri serta upaya efi siensi anggaran. Mengenai tekanan beban utang terhadap APBN itu dikemukakan oleh anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, di Jakarta, Minggu (16/8).
“Tanpa penggelembungan belanja pegawai pun daya atau kemampuan APBN sudah tergerogoti. Utamanya karena beban kewajiban mencicil pokok dan bunga utang luar negeri plus utang dalam negeri. Beban yang satu ini masih terbilang besar karena alokasinya mencapai 25 persen dari total APBN,” ujar Bambang yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) itu.

Posisi total utang pemerintah pada April telah mencapai 2.023,72 triliun rupiah, sedangkan tahun ini pembayaran bunga utang 113,2 triliun rupiah, dengan cicilan pokoknya 58,4 triliun rupiah dan surat utang negara yang jatuh tempo 2013 sebesar 71 triliun rupiah sehingga totalnya 241 triliun atau 21 persen dari belanja APBN. Pembayaran utang itu termasuk subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebesar 70 triliun rupiah per tahun.

Sementara itu, besaran subdidi BBM di APBN 2013 hanya 193,8 triliun rupiah atau sekitar 12 persen dari total APBN. Dalam APBN-P 2013 ditetapkan defi sit sekitar 190,1 triliun rupiah atau 2,23 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan rencananya akan ditutupi dari utang dalam negeri sebesar 194,5 triliun rupiah dan utang luar negeri minus 4,4 triliun (artinya total utang luar negeri berkurang 4,4 triliun).
Meski akan mengurangi subsidi BBM, pemerintah berencana menambah utang baru 390 triliun rupiah tahun ini. Selain tekanan beban utang, lanjut Bambang, APBN saat ini terjangkiti dua penyakit akut, yakni penyerapan yang sangat lamban dan ketidakjelasan prioritas peruntukan. Dia mengungkapkan APBN tahun-tahun terakhir sangat boros untuk belanja rutin pemerintah, termasuk gaji PNS pusat dan daerah.
“Dengan posturnya yang demikian, APBN jelas tidak prorakyat. Muncul kesan, prioritas peruntukan APBN lebih untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan pejabat negara serta PNS ketimbang memperbaiki kesejahteraan rakyat. Contoh kasusnya adalah BBM bersubsidi,” kata Bambang. Meski beban utang sudah sangat berat, pengamat ekonomi INDEF, Enny Sri Hartati, menilai pemerintah tidak memiliki langkah progresif mengurangi kebergantungan pada utang.
“Mengurangi utang itu ada dua, yakni menambah penerimaan atau mengurangi belanja. Kalau pemerintah mau meningkatkan belanja silakan, asal jangan diambil dari utang,” ujar Enny. Menurut dia, Indonesia tidak perlu berutang jika pemerintah memiliki strategi menggenjot penerimaan dalam negeri karena potensi penerimaan domestik sangat besar.

“Optimalkan penerimaan negara. Penerimaan sektor perpajakan masih bisa diandalkan untuk menutupi bolong-bolong APBN. Tetapi, anehnya, pemerintah justru menurunkan target penerimaan pajak,” papar dia.
Hal ini, kata Enny, mengindikasikan pemerintah malas mencari sumber penerimaan negara baru.

Keanggotaan IMF
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) mendesak DPR untuk membuka mata dan menggugat pemerintah terkait pembayaran kenaikan kuota ke-14 atas keanggotaan pada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 38 triliun rupiah.
Fitra menduga dana tersebut berasal dari anggaran siluman dan diputuskan tanpa melibatkan parlemen. Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra, Uchok Sky Khadafi , mengungkapkan alokasi anggaran itu tidak tercantum pada APBN 2012 dan 2013. Meski begitu, pemerintah tetap akan membayar sesuai dengan Surat Menkeu kepada Gubernur Bank Indonesia (BI) Nomor S-303/ MK.01/2012 tertanggal 12 April 2013.(koran-jakarta.com, 17/6)
Read More »